Sunday, November 11, 2012

Penyelenggaraan SKD KLB Gizi Buruk

Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD KLB) Gizi Buruk

Sebagaimana disinggung pada tulisan terdahulu, dampak jangka pendek gizi buruk terhadap perkembangan anak antara lain anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara serta gangguan perkembangan lain. Sementara dampak jangka panjang berupa penurunan skor intelligence quotient (IQ), penurunan perkembangan kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri serta akan menyebabkan merosotnya prestasi belajar.

Sebagai usaha pencegahan dan deteksi dini kejadian gizi buruk kemudian diterapkan konsep surveilans dan sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa gizi buruk ini. Secara umum tujuan surveilans adalah untuk pencegahan dan pengendalian penyakit dalam masyarakat, sebagai upaya deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya kejadian luar biasa (KLB), memperoleh informasi yang diperlukan bagi perencanaan dalam hal pencegahan, penanggulangan maupun pemberantasannya pada berbagai tingkat administrasi

Konsep diatas antara lain dituangkan dan diimplementasi pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 111 6/MENKES/SK/VI II/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Kesehatan dan Penyakit. Salah satu kegiatan pada Kepmenkes ini berupa pelaksanaan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD KLB). Kegiatan ini pada dasarnya merupakan salah satu bentuk kewaspadaan terhadap penyakit berpotensi KLB serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan menerapkan teknologi surveilans epidemiologi yang dimanfaatkan untuk meningkatkan sikap tanggap kesiap siagaan, upaya pencegahan dan tindakan penanggulangan KLB yang cepat dan tepat.

Sementara terkait dengan SKD KLB Gizi Buruk, dapat dijelaskan sebagai berikut: 

Pengertian suatau wilayah (misalnya Kecamatan) dinyatakan telah mengalami  KLB gizi buruk adalah bila ditemukan 1 orang kasus dengan pengukuran antropometri berdasarkan BB/U berada pada Z-Score <- 3 SD kemudian dikonfirmasi dengan BB/TB berada pada Z-Score <-3 SD dan atau disertai dengan tanda-tanda klinis gizi buruk. Sedangkan dinyatakan sebagai KLB gizi buruk di wilayah Kabupaten/ kkota apabila:

  1. Ada peningkatan jumlah balita dengan berat badan BGM pada kartu menuju sehat (KMS) sebanyak 50% atau jumlah gizi buruk meningkat 2 kali lipat pada 4 bulan sebelumnya.
  2. Ada perubahan pola konsumsi makanan pokok yang bisa dikonsumsi masyarakat, baik jenis, jumlah dan frekuensi makan.

Dalam prakteknya, salah satu sasaran pelaksanaan SKD KLB Gizi Buruk, sesuai pedoman penyelenggaraan SKD KLB dan pedoman penyelenggaraan surveilans epidemiologi kesehatan, adalah pelaksanaan Sistem Kewaspadaan Gizi (SKG),  termasuk di dalamnya SKD KLB  gizi buruk. Sistem ini merupakan bentuk kewaspadaan terhadap ancaman terjadinya gizi buruk dan faktor-faktor yang mempengaruhinya melalui surveilans gizi, yang informasinya dimanfaatkan untuk meningkatkan sikap tanggap kesiapsiagaan, upaya pencegahan dan penanggulangan KLB secara cepat dan tepat. Peran SKD KLB gizi buruk adalah sebagai penyedia informasi menjadi sangat penting dalam rangka mencegah dan menanggulangi KLB gizi buruk.

Prinsip pelaksanaan SKD-KLB gizi buruk sesuai Pedoman Sistem Kewaspadaan Gizi (SKD) KLB Gizi, Depkes RI (2008) mencakup tiga kegiatan antara lain kajian epidemiologi secara rutin, Peringatan kewaspadaan dini, Peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan KLB gizi buruk.

Kajian epidemiologi secara rutin adalah analisis terhadap penyebab, gambaran epidemiologi, sumber penyebaran dan faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap terjadinya KLB atau dugaan KLB gizi buruk. Tujuannya untuk mengidentifikasi ada tidaknya potensi/ ancaman KLB gizi buruk di masyarakat dengan mempelajari distribusi kasus menurut waktu, tempat dan orang serta faktor-faktor penyebab gizi buruk di masyarakat. Kegiatan utama yang dilakukan adalah pengumpulan data yang relevan pada suatu populasi dan wilayah geografis tertentu; pengolahan, penyajian, analisis dan interpretasi data. Data yang dibutuhkan adalah data yang sangat erat kaitannya dengan kasus gizi buruk yaitu data penyakit, pemantauan pertumbuhan serta data di luar sektor kesehatan. Secara garis besar, data yang dibutuhkan dibagi dalam dua kategori sebagai berikut :

Sedangkan data kesehatan dan gizi yang dibutuhkan pada pelaksanaan kajian epidemiologi ini meliputi :
  1. Data pemantauan pertumbuhan (S, K, D, N, BGM)
  2. Surveilans epidemiologi penyakit berpotensi KLB (campak, diare, demam berdarah dengue, TBC dan ISPA/ Pneumonia).
  3. Pelayanan kesehatan: imunisasi, pemberian vitamin A
  4. Kondisi lingkungan pemukiman, bencana alam, dan lain-lain Data di luar sektor kesehatan meliputi:
  5. Kerusakan lahan, produksi pertanian dan lain-lain
  6. Jumlah keluarga miskin, tingkat pendidikan
Pada kegiatan peringatan kewaspadaan dini, merupakan pemberian informasi adanya ancaman KLB gizi buruk pada suatu daerah dalam periode waktu tertentu berdasarkan hasil kajian epidemiologi dan indikasi-indikasi yang ada. Tujuannya untuk mendorong peningkatan kewaspadaan terhadap terjadinya gizi buruk di masyarakat oleh puskesmas, rumah sakit maupun program terkait. Indikasi-indikasi yang digunakan sebagai peringatan dini gizi buruk adalah :
  1. Balita 2 kali berturut-turut tidak naik atau turun berat badannya
  2. Ditemukan kasus balita di bawah garis merah (BGM)
  3. Jumlah balita N/D turun dari bulan yang lalu atau tetap 3 bulan berturut-turut di suatu desa kecuali yang telah mencapai 80%
  4. N/D rendah (kurang dari 60%)
  5. Jumlah balita D/S turun dari bulan yang lalu, atau tetap selama 3 bulan berturut-turut di suatu desa kecuali desa yang telah mencapai 80%
  6. Kasus diare, apabila terjadi:
  • Angka kesakitan dan atau kematian di kecamatan/ desa (kelurahan) menunjukkan kenaikan mencolok selama 3 kali waktu observasi berturut-turut (harian atau mingguan)
  • Jumlah penderita dan atau kematian di suatu kecamatan/ desa menunjukkan kenaikan 2 kali atau lebih dalam periode waktu tertentu (harian, mingguan, bulanan) dibandingkan angka rata-rata dalam 1 tahun terakhir
  • Peningkatan jumlah kesakitan dan atau kematian dalam periode waktu tertentu (mingguan/ bulanan) di suatu kecamatan/ desa (kelurahan) dibandingkan periode yang sama pada tahun yang lalu.
  • Peningkatan case fatality rate di suatu kecamatan/desa dalam waktu satu bulan dibandingkan bulan lalu.
Sementara kegiatan peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan KLB gizi buruk, dilakukan dalam bentuk upaya yang disesuaikan dengan indikasi-indikasi yang digunakan sebagai peringatan dini KLB gizi buruk. Upaya-upaya yang dimaksud adalah sebagai berikut:
  1. Bila ditemukan balita 2 kali berturut-turut tidak naik berat badan, tindakan yang dilakukan yaitu penyuluhan kepada orang tua balita dan dirujuk ke puskesmas untuk mengetahui penyebab tidak naik berat badan.
  2. Bila ditemukan BGM baru, tindakan yang dilakukan yaitu konfirmasi kasus BGM dengan pengukuran berat badan dan tinggi badan serta melihat tanda klinis gizi buruk oleh petugas puskesmas. Jika positif gizi buruk (-3 SD dan atau disertai dengan tanda-tanda klinis) maka terapkan tatalaksana penanganan gizi buruk.
  3. Bila ditemukan N/D turun dari bulan yang lalu, atau tetap selama 3 bulan berturut-turut di suatu desa kecuali telah mencapai 80%, tindakan yang dilakukan yaitu kunjungan ke desa tersebut oleh pembina wilayah untuk mencari faktor penyebab dan penimbangan balita yang tidak datang ke posyandu
  4. Bila ditemukan N/D rendah (kurang dari 60%), tindakan yang dilakukan yaitu kunjungan ke desa oleh pembina wilayah untuk mencari faktor penyebab.
  5. Bila ditemukan D/S turun dari bulan yang lalu, atau tetap selama 3 bulan berturut-turut di suatu desa kecuali desa yang telah mencapai 80%, tindakan yang dilakukan yaitu pembinaan ke desa tersebut dan membahas bersama tokoh masyarakat, tim penggerak PKK desa dan kader tentang upaya untuk meningkatkan D/S.
  6. Bila ditemukan KLB diare dan atau KLB campak, tindakan yang dilakukan yaitu melakukan sesuai SOP (Standar Operasional Prosedur) KLB diare dan atau campak.
  7. Bila ada laporan tentang perubahan konsumsi yang terjadi di masyarakat, tindakan yang dilakukan yaitu mengunjungi masyarakat untuk mengetahui jumlah KK yang mengalami perubahan penurunan jumlah dan mutu konsumsi serta faktor penyebab lainnya. Jika telah diketahui penyebabnya maka perlu dibahas di dewan ketahanan pangan atau lintas sektor untuk mencari cara penanggulangan yang tepat.
Beberapa tindakan yang perlu dilakukan sebagai kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan KLB, yaitu :
  1. Menyiapkan pedoman penyelidikan KLB gizi buruk dan membentuk tim penyelidikan KLB atau memanfaatkan tim penanggulangan KLB yang sudah ada
  2. Kesiapsiagaan tenaga dan tim yaitu tenaga yang perlu disiapkan adalah tenaga gizi, tenaga PKM, tenaga P2 dan surveilans. Bila sering terjadi KLB maka memerlukan persiapan tenaga dokter, perawat dan gizi
  3. Kesiapsiagaan anggaran untuk transport, obat, KLB kit, dll
  4. Kesiapsiagaan logistik
  5. Menyiapkan makanan formula, obat-obatan
  6. Kesiapsiagaan informasi dan transportasi

Reference, antara lain :

  • Pedoman Sistem Kewaspadaan Dizi (SKD) KLB Gizi Buruk. Depkes RI. 2008.
  • Pedoman Pelaksanaan Respon Cepat Penanggulangan Gizi Buruk. Depkes RI. 2008   
  • Kepmenkes tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD KLB). Depkes RI. 2008

Sunday, November 11, 2012 by Lumajangtopic · 0

Monday, November 5, 2012

Surveilans Epidemiologi Gizi Buruk

Pengertian dan Dasar Pelaksanaan Surveilans Gizi Buruk


Berbagai penelitian menunjukkn dampak serius masalah gizi buruk terhadap kesehatan, bahkan terhadap kelangsungan hidup suatu bangsa. Dampak jangka pendek gizi buruk terhadap perkembangan anak antara lain anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara serta gangguan perkembangan lain. Sementara dampak jangka panjang berupa penurunan skor intelligence quotient (IQ), penurunan perkembangan kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri serta akan menyebabkan merosotnya prestasi di sekolah.

Kurang gizi juga berpotensi menjadi penyebab kemiskinan melalui rendahnya kualitas sumber daya manusia dan produktivitas. Gizi buruk yang tidak dikelola dengan baik, pada fase akutnya akan mengancam jiwa dan pada jangka panjang akan menjadi ancaman hilangnya sebuah generasi penerus bangsa.

Mengingat dampak yang sedemikain serius tersebut, sudah seyogyanya seluruh potensi dan komponen dikerahkan untuk mencegah dan menangulangi masalah gizi buruk ini. Tindakan penting terkait usaha pencegahan antara lain dengan melakukan kegiatan surveilans epidemiologi masalah gizi ini.

Banyak pengertian surveilans yang sudah umum dikenal selama ini. Antara lain menurut WHO, surveilans merupakan proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistemik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. Berdasarkan definisi diatas dapat diketahui bahwa surveilans adalah suatu kegiatan pengamatan penyakit yang dilakukan secara terus menerus dan sistematis terhadap kejadian dan distribusi penyakit serta faktor-faktor yang mempengaruhi nya pada masyarakat sehingga dapat dilakukan penanggulangan untuk dapat mengambil tindakan efektif.

Menurut Timmreck (2005), surveilans kesehatan  masyaraka adalah proses pengumpulan data kesehatan yang mencakup tidak saja pengumpulan informasi secara sistematik, tetapi juga melibatkan analisis, interpretasi, penyebaran, dan penggunaan informasi kesehatan. Hasil surveilans dan pengumpulan serta analisis data digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang status kesehatan populasi guna merencanakan, menerapkan, mendeskripsikan, dan mengevaluasi program kesehatan masyarakat untuk mengendalikan dan mencegah kejadian yang merugikan kesehatan. Dengan demikian, agar data dapat berguna, data harus akurat, tepat waktu, dan tersedia dalam bentuk yang dapat digunakan.

Surveilans Gizi Buruk

Terdapat beberapa aktivitas inti surveilans kesehatan masyarakat tersebut. Kegiatan surveilans kesehatan masyarakat antara lain :
  1. Pendeteksian kasus (case detection): proses mengidentifikasi peristiwa atau keadaan kesehatan. Unit sumber data menyediakan data yang diperl ukan dalam penyelenggaraan surveilans epidemiologi seperti rumah sakit, puskesmas, laboratorium, unit penelitian, unit program-sektor dan unit statistik.
  2. Pencatatan kasus (registration): proses pencatatan kasus hasil identifikasi peristiwa atau keadaan kesehatan.
  3. Konfirmasi (confirmation): evaluasi dari ukuran-ukuran
  4. epidemiologi sampai pada hasil percobaan laboratorium.
  5. Pelaporan (reporting): data, informasi dan rekomendasi sebagai hasil kegiatan surveilans epidemiologi disampaikan kepada pihak-pihak yang dapat melakukan tindakan penanggulangan penyakit atau upaya peningkatan program kesehatan, pusat penelitian dan pusat kajian serta pertukaran data dalam jejaring surveilans epidemiologi. Pengumpulan data kasus pasien dari tingkat yang lebih rendah dilaporkan kepada fasilitas kesehatan yang lebih tinggi seperti lingkup daerah atau nasional.
  6. Analisis data (data analysis): analisis terhadap data-data dan angka-angka dan menentukan i ndikator terhadap ti ndakan.
  7. Respon segera dan kesiapsiagaan wabah (epidemic preparedness) kesiapsiagaan dalam menghadapi wabah/kejadian luar biasa.
  8. Respon terencana (response and control): sistem pengawasan kesehatan masyarakat hanya dapat digunakan jika data yang ada bisa digunakan dalam peringatan dini dan munculnya masalah dalam kesehatan masyarakat.
  9. Umpan balik (feedback) yang berfungsi penting dari semua sistem pengawasan, alur pesan dan informasi kembali ke tingkat yang lebih rendah dari tingkat yang lebih tinggi.
Secara umum tujuan surveilans adalah untuk pencegahan dan pengendalian penyakit dalam masyarakat, sebagai upaya deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya kejadian luar biasa (KLB), memperoleh informasi yang diperlukan bagi perencanaan dalam hal pencegahan, penanggulangan maupun pemberantasannya pada berbagai tingkat administrasi

Sedangkan komponen-komponen kegiatan surveilans antara lain:
  1. Pengumpulan data, data yang dikumpulkan adalah data epidemiologi yang jelas, tepat dan ada hubungannya dengan penyakit yang bersangkutan. Tujuan dari pengumpulan data epidemiologi adalah: untuk menentukan kelompok populasi yang mempunyai resiko terbesar terhadap serangan penyakit; untuk menentukan reservoir dari infeksi; untuk menentukan jenis dari penyebab penyakit dan karakteristiknya; untuk memastikan keadaan yang dapat menyebabkan berlangsungnya transmisi penyakit; untuk mencatat penyakit secara keseluruhan; untuk memastikan sifat dasar suatu wabah, sumbernya, cara penularannya dan seberapa jauh penyebarannya.
  2. Kompilasi, analisis dan interpretasi data. Data yang terkumpul selanjutnya dikompilasi, dianalisis berdasarkan orang, tempat dan waktu. Analisa dapat berupa teks tabel, grafik dan spot map sehingga mudah dibaca dan merupakan informasi yang akurat. Dari hasil analisis dan interpretasi selanjutnya dibuat saran bagaimana menentukan tindakan dalam menghadapi masalah yang baru.
  3. Penyebaran hasil analisis dan hasil interpretasi data. Hasil analisis dan interpretasi data digunakan untuk unit-unit kesehatan setempat guna menentukan tindak lanjut dan disebarluaskan ke unit terkait antara lain berupa laporan kepada atasan atau kepada lintas sektor yang terkait sebagai informasi lebih lanjut.
Sementara terkait dengan masalah gizi masyarakat, di Indonesia, beberapa dasar hukum dan pedoman pelaksanaan surveilans gizi buruk antara lain :
  1. Surat Menteri Kesehatan Nomor: 1209, tanggal 19 Oktober 1998 yang menginstruksikan agar memperlakukan kasus gizi buruk sebagai sebuah Kejadian Luar Biasa (KLB).
  2. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 1116/MENKES/SK/VI II/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Kesehatan
Pada Kepmenkes diatas, salah satu sasaran surveilans epidemilogi kesehatan adalah pelaksanaan Sistem Kewaspadaan Gizi (SKG) dan sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa (SKD KLB) gizi buruk. Sedangkan berdasarkan Surveilans gizi adalah pengamatan yang dilakukan terhadap anak balita dalam rangka mencegah terjadinya kasus gizi buruk.

Sedangkan menurut WHO, praktek survailans gizi dilakukan dengan  melakukan pengamatan keadaan gizi, dalam rangka untuk membuat keputusan yang berdampak pada perbaikan gizi penduduk dengan menyediakan informasi yang terus menerus tentang keadaan gizi penduduk, berdasarkan pengumpulan data langsung sesuai sumber yang ada, termasuk data hasil survei dan data yang sudah ada.

Terdapat tiga jenis utama sistem surveilans gizi menurut Mason et al (1984), yaitu:
  1. Pemantauan gizi jangka panjang sebagai masukan untuk perencanaan nasional, untuk menganalisis dampak kebijakan dan untuk memprediksi kecenderungan masa depan
  2. Evaluasi dampak program gizi dan proyek-proyek tertentu yaitu informasi yang dirancang untuk memungkinkan tanggapan langsung melalui program atau proyek modifikasi
  3. Peringatan dini atau sistem peringatan tepat waktu untuk mengidentifikasi kekurangan pangan akut, untuk mendapatkan tanggapan jangka pendek.
Sistem Surveilans gizi adalah mengumpulkan data dasar program yang difokuskan pada masalah gizi bayi, anak-anak, dan wanita hamil. Sistem surveilans gizi berfungsi untuk menyediakan data lokal spesifik yang berguna untuk pengelolaan program gizi kesehatan masyarakat. Sistem ini memberikan informasi yang sangat berguna, tetapi juga ada tantangan metodologis yang berkaitan dengan keterwakilan, pengawasan mutu, dan indikator sensitivitas atau spesifisitas.

Sementara menurut WHO menggambarkan sistem surveilans gizi sebagai proses yang berkesinambungan memiliki lima tujuan khusus, antara lain :
  1. Menggambarkan status gizi penduduk, dengan referensi khusus bagi mereka yang menghadapi risiko
  2. Menganalisis faktor-faktor penyebab yang terkait dengan gizi buruk
  3. Mempromosikan keputusan oleh pemerintah, baik mengenai perkembangan normal dan keadaan darurat
  4. Memprediksi kemungkinan masalah gizi sehingga dapat membantu dalam perumusan kebijakan
  5. Memantau dan mengevaluasi program gizi.
Ruang lingkup dan tujuan sistem surveilans gizi di Indonesia menurut Soekirman & Karyadi (1995), antara sebagai berikut:
  1. Sistem yang berfungsi sebagai peringatan dan intervensi tepat waktu.
  2. Sistem untuk menghubungkan masalah daerah rawan (kabupaten, kecamatan, desa) dengan otoritas yang lebih tinggi pada tingkat propinsi dan tingkat pusat.
  3. Memberikan indikator yang berfungsi sebagai mekanisme deteksi dini untuk krisis pangan
  4. Membimbing tindakan cepat untuk mengatasi penurunan ketersediaan pangan dan konsumsi, khususnya di kalangan rumah tangga miskin

Referensi, antara lain :
  • Soekirman & Karyadi, D. (1995). Nutrition surveillance: A planners' perspective. Food and Nutrition Bulletin. United Nations University. Tokyo
  • Mason, et al. (1984). Nutritional Surveillance. WHO 
  • Timmreck, C.T. (2005). Epidemiologi: Suatu Pengantar,. EGC.

Monday, November 5, 2012 by Lumajangtopic · 0

Sunday, October 28, 2012

Eksklusif-nya Air Susu Ibu

Pengertian dan Dasar Hukum terkait Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif

Eksklusif menurut kamus bahasa Indonesia mempunyai arti “khusus atau terpisah dari yang lain”. Dan kebanyakan dari kita pantas setuju dengan ekslusif-nya Air Susu Ibu bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi. Dan kita juga menjadi sangat pantas untuk apreciated terhadap berbagai gerakan terkait pemberian ASI eksklusif pada anak yang mulai menyeruak (kembali) di sekitar kita.

Air susu ibu (ASI) merupakan makanan utama bagi bayi,  dengan rekomendasi periode pemberian ASI yaitu sejak lahir sampai bayi berumur dua tahun, tetapi tidak semua bayi dapat disusui selama periode tersebut.  Data menunjukkan bahwa bayi yang mendapatkan ASI Eksklusif di Indonesia hanya 15,3 % (Riskesdas, 2010). Salah satu penyebab utama rendahnya pemberian ASI di Indonesia selain faktor sosial budaya, juga masih kurangnya pengetahuqn ibu hamil, keluarga, dan masyarakat.

Beberapa dasar hukum yang digunakan terkait ASI di Indonesia antara lain :
  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
  2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif
  3. Peraturan Bersama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Kesehatan Nomor 48/MEN.PP/XII/2008, PER.27/MEN/XII/2008, dan  1177/MENKES/PB/XII/2008 Tahun 2008 Tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja

Pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, terkait ASI terdapat pada pasal 128, pasal 129, pasal 200, dan pasal 201.
Antara lain pada Pasal 128, memuat :
  • (1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis.
  • (2) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
  • (3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan tempat sarana umum.

Sementara pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif, antara lain disebutkan bahwa Pengaturan pemberian ASI Eksklusif (sesuai PP ini) bertujuan untuk (Pasal 2) :
  • a.    menjamin pemenuhan hak Bayi untuk mendapatkan ASI Eksklusif sejak dilahirkan sampai dengan berusia 6 (enam) bulan dengan memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya;
  • b.    memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya; dan
  • c.    meningkatkan peran dan dukungan Keluarga, masyarakat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah terhadap pemberian ASI Eksklusif.

Sedangkan sesuai Peraturan Bersama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Kesehatan Nomor 48/MEN.PP/XII/2008, PER.27/MEN/XII/2008, dan  1177/MENKES/PB/XII/2008 Tahun 2008 Tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu Selama Waktu Kerja Di Tempat Kerja, Tujuan Peraturan Bersama ini adalah (Pasal 2) :
  • a.    memberi kesempatan kepada pekerja/buruh perempuan untuk memberikan atau memerah ASI selama waktu kerja dan menyimpan ASI perah untuk diberikan kepada anaknya;
  • b.    memenuhi hak pekerja/buruh perempuan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anaknya;
  • c.    memenuhi hak anak untuk mendapatkan ASI guna meningkatkan gizi dan kekebalan anak; dan
  • d.    meningkatkan kualitas sumber daya manusia sejak dini.

Secara global sesuai definisi WHO (2006), pengertian ASI Eksklusif adalah bahwa bayi hanya menerima ASI dari ibu, tanpa penambahan cairan atau makanan padat lain, kecuali sirup yang berisi vitamin, suplemen mineral atau obat dari sejak lahir sampai usia enam bulan.

Sementara Riskesdas 2010, membagi pola menyusui menjadi tiga kategori, yaitu menyusui eksklusif, menyusui predominan, dan menyusui parsial. Sesuai definisi World Health Organization (WHO) ke-tiga katagori terebut, dapat dijelaskan sebagai berikut:

Menyusui eksklusif: adalah tidak memberi bayi makanan  atau minuman lain, termasuk air putih, selain menyusui (kecuali obat-obatan dan vitamin atau mineral tetes; ASI perah juga diperbolehkan).

Menyusui predominan adalah menyusui bayi tetapi pernah , memberikan sedikit air atau minuman berbasis air, misalnya teh, sebagai makanan/ minuman prelakteal sebelum ASI keluar.

Menyusui parsial adalah menyusui bayi serta diberikan makanan buatan selain ASI, baik susu formula, bubur atau makanan lainnya sebelum bayi berumur enam bulan, baik diberikan secara kontinyu maupun diberikan sebagai makanan prelakteal.

Kita sepakat, bahwa pemberian ASI pada bayi berkontribusi signifikan pada peningkatan status gizi. Sebagaimana kita ketahui, banyak faktor yang dapat mempengaruhi status gizi bayi, seperti tingkat pendidikan ibu sehingga berpengaruh pada pola asuh bayi, status gizi ibu saat hamil dan meyusui, penyakit infeksi yang diderita bayi. Sementara faktor langsung berpengaruh pada status gizi bayi adalah intake berupa ASI dan makanan pendamping ASI.

Menyusui sejak dini mempunyai dampak positif baik bagi ibu maupun bayinya. Bagi bayi, menyusui mempunyai peran penting yang fundamental pada kelangsungan hidup bayi, kolostrum yang kaya dengan zat antibodi, pertumbuhan yang baik, kesehatan, dan gizi bayi. Untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas bayi dan balita, Inisiasi menyusu dini mempunyai peran penting bagi ibu dalam merangsang kontraksi uterus sehingga mengurangi perdarahan pasca melahirkan (postpartum). Menyusui dalam jangka panjang dapat memperpanjang jarak kelahiran karena masa amenorhoe lebih panjang, pemulihan status gizi yang lebih baik sebelum kehamilan berikutnya. UNICEF dan WHO membuat rekomendasi pada ibu untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya. Sesudah usia 6 bulan bayi baru dapat diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dengan tetap memberikan ASI sampai minimal umur 2 tahun. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan juga merekomendasi kepada ibu untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayi nya (Riskesdas, 2010).

Beberapa penelitian menunjukkan, pemberian ASI Eksklusif dapat memberikan efek positif terhadap pertumbuhan bayi. Pertumbuhan dan perkembangan bayi dan balita sebagian besar ditentukan oleh jumlah ASI yang diperoleh, termasuk energi dan zat gizi lainnya yang terkandung di dalam ASI tersebut (Widodo, et a!, (2005).

ASI menyediakan semua energi dan nutrisi yang dibutuhkan oleh bayi selama enam bulan pertama. Pemberian ASI Eksklusif pada bayi menghindarkan dari kematian bayi yang disebabkan oleh penyakit anak seperti diare dan pneumonia, mempercepat penyembuhan selama sakit.

Menyusui adalah gold standard untuk nutrisi dan pertumbuhan bayi. Beberapa nilai positif pada bayi dari praktek menyusui dibandingkan makanan formula bayi antara lain: memiliki tingkat stres lebih rendah terhadap makanan; lebih mudah dalam mencerna makanan sehingga menghindarkan kejadian penyakit infeksi dan penyakit kronik; menurunkan risiko kematian bayi; meningkatkan perkembangan syaraf.

Banyak manfaat didapatkan dari ASI dan ASI eksklusif, diantaranya sebagai sumber nutrisi dan untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan kecerdasan.

Sebagai Nutrisi, komposisi ASI berbeda pada tiap ibu sesuai karakteristik bayi yang dilahirkan, bahkan dalam perkembangan hari perhari.  Misalnya komposisi akan berbeda pada stadium kolostrum, pada ASI transisi, dan ASI matang.  Bahkan terdapat pula perbedaan komposisi ASI dari menit ke menit (foremilk dan hindmilk).

Air Susu Ibu (ASI) merupakan sumber gizi yang sangat ideal dengan komposisi seimbang yang menyesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan bayi. ASI adalah makanan bayi paling sempurna (kualitas maupun kuantitas). Dengan tatalaksana menyusui yang benar, ASI sebagai makanan tunggal akan cukup memenuhi kebutuhan tumbuh bayi normal sampai usia 6 bulan.

ASI juga berperan penting dalam peningkatan daya tahan tubuh. Sebagaimana kita ketahui, bayi yang baru lahir secara alamiah mendapat imunoglobulin ibunya.  Kadar zat ini cepat menurun setelah kelahiran, shingga penting untuk memastiakan peran ASI sebagai cairan hidup yang mengandung zat kekebalan yang dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, parasit, dan jamur, pada tahap ini. Sementara bayi sendiri baru membuat zat kekebalan yang cukup protektif pada usia sekitar 9 sampai 12 bulan.

Berdasarkan penelitian, kolostrum mengandung zat kekebalan 10-17 kali lebih banyak dari susu matang (mature). Zat kekebalan yang terdapat pada ASI antara lain akan melindungi bayi dari diare, juga akan menurunkan resiko bayi mendapatkan penyakit infeksi telinga, batuk, pilek, dan penyakit alergi.

ASI juga berperan penting dalam peningkatan tingkat kecerdasan. Menurut Roesli (2000), tiga hal yang didapatkan bayi dari ASI mencakup Asah, Asih dan Asuh. Asah, menunjukan kebutuhan akan stimulasi atau rangsangan yang akan merangsang perkembangan kecerdasan anak secara optimal. Ibu yang menyusui merupakan guru pertama yang terbaik bagi bayinya. Seringnya bayi menyusu membuatnya terbiasa berhubungan dengan manusia lain dan dalam hal ini dengan ibunya. Dengan demikian, perkembangan sosialisasinya akan baik dan ia akan mudah berinteraksi dengan lingkunganya kelak. ASI Eksklusif memenuhi kebutuhan awal untuk ini

Asuh, menunjukan kebutuhan bayi untuk pertumbuhan otaknya. Untuk pertumbuhan suatu jaringan, sangat dibutuhkan nutrisi atau makanan yang bergizi, dan ASI memenuhi kebutuhan ini. Sedangkan Asih, menunjukan kebutuhan bayi untuk perkembangan emosi dan spiritualnya. Hal yang penting di sini adalah pemberian kasih sayang dan perasaan aman. Seorang anak yang merasa disayangi akan mampu menyayangi lingkungannya sehingga ia akan berkembang menjadi manusia dengan budi pekerti dan nurani yang baik. Selain itu, seorang bayi yang merasa aman, karena merasa dilindungi, akan berkembang menjadi orang dewasa yang mandiri dengan emosi yang stabil. ASI Eksklusif memenuhi kebutuhan awal untuk hal ini.

Secara lebih detail, berikut beberapa kandungan air susu ibu (dari berbagai sumber).
  • ASI mengandung protein (9mg/ml). Jenis protein yang dikandung ASI adalah whey, casein, alfa-laktabulmin, taurin, laktoferin, IgA dan lisozim. ASI dan susu sapi mengandung dua protein utama yaitu whey dan casein. Whey adalah protein halus, lembut dan mudah dicerna, sedangkan casein adalah protein kasar, bergumpal dan susah dicerna oeh usus bayi.
  • Protein utama ASI adalah whey sedangkan protein utama susu sapi adalah casein sehingga protein ASI lebih baik daripada protein susu sapi. ASI mengandung lemak (42 mg/ml) yang paling cocok untuk bayi dalam jumlah yang tepat. Lemak utama ASI adalah lemak ikatan rangkai panjang (omega-3, omega-6, DHA, arachidonic acid) suatu asam lemak essensial yang merupakan komponen penting untuk mylinisasi. Mylinisasi adalah pembentukan selaput isolasi yang mengelilingi serabut syaraf yang akan membantu rangsangan yang menjalar lebih cepat. Selain itu komponen lemak yang lain adalah kolesterol. Kandungan kolesterol dalam ASI tinggi guna meningkatkan pertumbuhan otak bayi. Kolesterol juga berfungsi dalam pembentukan anzim yang akan mengendalikan kolesterol di kemudian hari, sehingga mencegah serangan jantung dan penebalan pembuluh darah di usia muda.
  • ASI mengandung lebih banyak laktosa (73 mg/ml) daripada susu lainnya. ASI mengandung vitamin yang cukup sehingga selama 6 bulan pertama bayi tidak memerlukan vitamin tambahan.
  • ASI mengandung zat besi (40 ug/ml) yang dapat diserap usus dengan baik sehingga bayi yang disusui tidak akan menderita anemia.
  • ASI mengandung garam, kalsium, dan fosfat yang untuk pertumbuhan tulang bayi.

Pustaka, antara lain :
  • Roesli, U. 2000. Mengenal ASI Eksklusif, Jakarta : Trubus Agriwidya. 2-7.
  • Pamela J. et al. 2009. Excessive Weight Loss in Breastfed Infants During the Postpartum Hospitalization. JOGNN
  • Laporan Riskesdas 2010.
  • Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. EGC-Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Universitas Airlangga Surabaya.

Sunday, October 28, 2012 by LumajangTopic · 0

Sunday, October 21, 2012

Jenis Terbanyak Infeksi Nosokomial

Frekuensi Terbanyak Jenis Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat di rumah sakit tanpa adanya masa inkubasi ketika masuk rumah sakit.  Menurut sebuah hasil penelitian, angka kematian yang disebabkan infeksi nosokomial cukup tinggi. Misalnya di Kanada terjadi 8.500 kematian akibat Infeksi nosokomial setiap tahunnya. Sementara di Amerika, infeksi ini bertanggung jawab pada 20.000 kematian pertahun (atau 10% pasien rumah sakit) di Amerika Serikat

Sebagai pengingat rekan-rekan praktisi public health, ada baiknya kita share kembali topik INOS (infeksi nosokomial) dan segala sesuatu yang terkait dengan basic informasi dengan inos ini. Menurut The Community and Hospital Infection Control Association (2006), infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi atau didapat di rumah sakit dan merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas pasien, memperpanjang periode waktu pasien dirawat di rumah sakit serta meningkatkan biaya perawatan pasien secara langsung.

Berdasarkan jenis infeksi, urutan frekuensi terbanyak infeksi nosokomial di rumah sakit antara lain infeksi saluran kencing, infeksi luka, pneumonia, infeksi kutaneus, bakteriemia, Human Imunodeficiency Virus (HIV), hepatitis.

Pneumonia: Faktor resiko utama infeksi pneumonia nosokomial adalah intubasi, pembedahan abdomen bagian atas atau torak, reflek batuk yang tidak efektif, dan peningkatan pH lambung. Pencegahan nosokomial pneumonia dapat dilakukan dengan cara mengajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam, menganjurkan pasien melakukan ambulasi dini, menjaga kesterilan alat-alat yang diguinakan untuk terapi pernafasaan, menggunakan teknik aseptik untuk intubasi dan suction endotrakeal, mempertahankan oral hygene yang baik untuk menurunkan kolonisasi bakteri traktus oroparing, memberikan medikasi misalnya sukralfat untuk mencegah peningkatan asam lambung.


Infeksi Saluran Kencing (ISK) : Merupakan infeksi nosokomial yang paling sering terjadi. ISK ditandai dengan piuria (lebih dari 10 sel darah putih per lapang pandang, atau lebih dari 100.000 bakteri per ml urin dari spesimen kateter bersih atau 10.000-100.000 bakteri per ml bila spesimen diambil dari kateterisasi kantung kemih). Terdapat beberapa cara untuk mencegah ISK, antara lain dengan melakukan kateterisasi kantung kemih atas indikasi yang benar, melakukan pemasangan kateter dengan prinsip steril, melakukan dresing kateter setiap hari, mengosongkan urin bag sesering mungkin agar tidak terjadi aliran balik ke kandung kemih, menjaga urin bag agar tidak menyentuh lantai, membersihkan penutup urin bag sesudah dan sebelum mengosongkan atau mengambil sample urin, serta menjaga area perineal dan rektal tetap kering dan bersih.

Infeksi Luka: Infeksi luka ditandai dengan drainase yang purulen dan hasil kultur luka yang positif. Infeksi luka berhubungan dengan derajat kontaminasi luka selama pembedahan. Sedangkan cara pencegahan infeksi luka dapat dilakukan dengan membersihkan kulit dengan sabun antiseptik sebelum operasi, menggunakan teknik antiseptik selama pembedahan, menggunakan sistem ventilasi yang sesuai di ruang operasi untuk mengurangi penyebaran patogen melalui udara, memberikan antibiotik propilaksis sebelum pembedahan intestinal.

Infeksi kutaneus : Faktor resiko utama untuk infeksi kulit adalah luka bakar dan dekubitus, infeksi kulit ditandai dengan drainase purulen dan hasil kultur positif. Semantara pencegahan infeksi kulit dapat dilakukan dengan cara; melakukan perubahan posisi pada pasien, melakukan massase kulit untuk meningkatkan sirkulasi, anjurkan nutrisi yang baik untuk menjaga integritas kulit, menjaga kulit tetap bersih dan kering

Bakteriemia: Baktriemia berkembang dari infeksi pada tubuh seperti luka atau infeksi pulmoner, kontaminasi darah, cairan dan alat intravaskuler atau kontaminasi selama injeksi dan pemberian obat intavena. Pencegahan bakteriemia dapat dilakuakan dengan cara; melakukan pemasangan infus dengan teknik aseptik, melakukan dressing infus dengan prinsip steril, melakukan injeksi atau medikasi intravena dengan prinsip steril.

HIV dan Hepatitis
: Manajemen yang baik terhadap darah dan produk darah (tranfusi, pengambilan spesimen) akan mengurangi resiko transmisi virus HIV dalam fasilitas pelayanan kesehatan. Resiko tertular HIV pada tenaga kesehatan berkaitan erat dengan terpapar secara parenteral oleh produk darah pasien yang terinfeksi HIV. Infeksi virus hepatitis B juga merupakan infeksi nosokomial yang sering terjadi di rumah sakit walaupun sulit untuk diidentifikasi. Tenaga kesehatan sangat rentan terinfeksi hepatitis dari pasien sehingga diperlukan vaksinasi hepatitis untuk tenaga kesehatan

Sunday, October 21, 2012 by Lumajangtopic · 0

Friday, October 19, 2012

Perbedaan Ispa dan Pneumonia ?

Perbedaan Ispa dan Pneumonia serta Tata Lakasananya

Sebagian dari kita mungkin masih sering bingung dengan istilah Ispa dan Pneumonia. Sejak dilaksanakannya Program P2 ISPA untuk Penanggulangan Pneumonia pada balita tahun 1990 masih sering timbul kerancuan pemahaman tentang perbedaan antara Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan Pneumonia. Tulisan ini antara lain dimaksudkan sebagai ulasan sekilas tentang ISPA dan Pneumonia. .

Beberapa data menunjukkan, bahwa penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) saat ini masih merupakan masalah kesehatan utama. Episode penyakit batuk pilek pada Balita di Indonesia diperkirakan sebesar 3 sampai 6 kali setiap tahun. Pada banyak negara berkembang, lebih dari 50% kematian pada umur anak-anak balita disebabkan karena infeksi saluran pernafasan akut pneumonia, yakni infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Sesuai data Depkes RI, sampai akhir tahun 2000, diperkirakan kematian akibat pneumonia sebagai penyebab utama infeksi saluran pernafasan akut di Indonesia mencapai 6 kasus di antara 1000 bayi dan balita.

Istilah ISPA merupakan kepanjangan dari infeksi saluran pernafasan akut dan mulai diperkenalkan pada tahun 1984. Istilah mana merupakan padanan istilah bahasa Inggris Acute Respiratory Infection (ARI). Walaupun terjadi beda pendapat pada Lokakarya Nasional ISPA (1984), yaitu  yang memilih istilah ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) dan pendapat kedua yang memilih ISNA (infeksi saluran nafas akut).  Pada akhir lokakarya diputuskan penggunaan istilah ISPA.

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
Infeksi Saluran Pernafasan Akut adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Kriteria penggunaan pola tatalaksana penderita ISPA adalah balita, dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernafas. Pola tatalaksana penderita ini terdiri dari 4 bagian yaitu  tahap pemeriksaan, penentuan ada tidaknya tanda bahaya, penentuan klasifikasi penyakit, serta tahap pengobatan dan tindakan.

Dalam penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas dua kelompok, yaitu kelompok untuk umur 2 bulan kurang dari 5 tahun dan kelompok untuk umur kurang dari 2 bulan. Pada klasifikasi kelompok umur 2 bulan kurang dari 5 tahun klasifikasi dibagi atas Pneumonia berat, Pneumonia dan bukan Pneumonia. Sementara pada kelompok umur kurang dari 2 bulan klasifikasi dibagi atas Pneumonia berat dan bukan Pneumonia.

Pada pelaksanaan pendekatan manajemen terpadu balita sakit (MTBS) klasifikasi pada kelompok umur kurang dari 2 bulan meliputi infeksi bawah ke dalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan kurang dari 5 tahun. Sedangkan pada kelompok umur kurang dari 2 bulan diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat (fast breathing), dengan kriteria antara lain frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam (severe chest indr awing).

Pada klasifikasi bukan Pneumonia mencakup kelompok penderita balita dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Dengan demikian klasifikasi bukan Pneumonia mencakup penyakit¬penyakit ISPA lain di luar Pnemonai seperti batuk pilek bukan Pneumonia (common cold, pharyngitis, tonsilitis, otitis).

Pola tatalaksana ISPA hanya dimaksudkan untuk tatalaksana penderita Pneumonia berat, pneumonia dan batuk bukan pneumonia. Sedangkan penyakit ISPA lain seperti pharyngitis, tonsilitis dan otitis belum termasuk pada cakupan program.

Sementara prosedur tata laksana pengobatan dan penanganan penyakit ISPA pada balita disesuaikan dengan diagnosis klasifikasi yang telah ditentukan oleh petugas kesehatan. Tatalaksana pengobatan penyakit ISPA pada balita umur 2 bulan sampai dengan 5 tahun meliputi jenis pengobatan demam, pemberian antibiotik, dan pengobatan wheezing.

Pneumonia
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru¬-paru (alveoli). Menurut Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita (Depkes RI, 2002), terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan terjadinya proses infeksi akut pada bronkhus yang disebut bronkopneumonia. Dalam pelaksanaan Pemberantasan Penyakit ISPA semua bentuk Pneumonia (baik Pneumonia maupun brokopneumonia) disebut Pneumonia saja.

Sementara menurut WHO, pneumonia merupakan bentuk peradangan dari jaringan paru yang ditandai dengan gejala batuk dan sesak nafas atau nafas cepat. Selanjutnya digunakan oleh Departemen Kesehatan dalam Program penanggulangan infeksi saluran pernafasan akut (P2–ISPA) secara Nasional. Berdasarkan buku pedoman P2-ISPA  (Depkes, 2000) pneumonia diklasifikasikan sebagai bukan pneumonia, pneumonia dan pneumonia berat. 

Pada anak balita sulit untuk menetapkan etiologi pneumonia  karena dahak biasanya sukar untuk diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab pneumonia. Hanya biakan dari aspirat paru serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu penetapan etiologi pneumonia. Meskipun pemeriksaan spesimen aspirat paru merupakan cara yang sensitif untuk mendapatkan dan menentukan bakteri penyebab pneumonia pada balita tatapi merupakan prosedur yang mempunyai resiko yang tinggi bagi anak balita. 

Adapun klasifikasi pneumonia ((Depkes, 2000), terbagi sebagai berikut: 
  1. Klasifikasi pneumonia berat berdasarkan adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai napas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan sampai <5 tahun. Untuk kelompok usia kurang 2 bulan ditandai adanya napas cepat (fast breathing), yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam (severe chest indrawing).
  2. Klasifikasi pneumonia berdasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai adanya napas cepat sesuai umur. Batas napas cepat (fast breathing) pada anak usia 2 bulan  sampai <1 tahun adalah 50 kali atau lebih per menit dan untuk anak usia 1 sampai <5 tahun adalah 40 kali atau lebih per menit.
  3. Klasifikasi bukan pneumonia mencakup kelompok penderita balita dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam. Dengan demikian klasifikasi bukan pneumonia mencakup penyakit-penyakit ISPA lain diluar Pneumonia seperti batuk pilek bukan pneumonia (common cold, faringitis, tonsillitis, otitis).
Sedangkan secara mikrobiologi, mikroba patogen penyebab infeksi saluran  pernafasan akut serta terapi  presumtif pada anak, terinci sebagai berikut: (Dipiro et al, 2005).




Mikroba Pathogen Penyebab ISPA

 
Referensi, antara lain :
  • Program P2 ISPA untuk penanggulanagan pneumonia pada balita Ditjen  Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. 2000
  • Pedoman Program Pemberantasan Penyakit ISPA untuk Penanggulangan Pneumonia pada  Balita,. Dit.Jen.PPM-PLP, Jakarta. 2002

Friday, October 19, 2012 by Lumajangtopic · 0

Wednesday, October 17, 2012

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

Indikator Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)


Pada tahun 2011 kemarin WHO menerbitkan manual Manajemen terpadu balita sakit "merawat anak-anak dan bayi baru lahir di masyarakat". Dalam preambule-nya dikatakan, manual ini dirancang untuk membantu pekerja awam kesehatan masyarakat menilai dan mengobati anak sakit (usia  2 - 59 bulan). Manual antara lain memuat topik terkait mengidentifikasi dan merujuk anak dengan tanda-tanda bahaya; memperlakukan (atau merujuk) pneumonia, diare dan demam; mengidentifikasi dan merujuk anak dengan gizi buruk ke fasilitas kesehatan; merujuk anak dengan masalah lain yang memerlukan perhatian medis, juga aspek terkait saran pada perawatan rumah untuk semua anak-anak sakit. Manual dapat rekan-rekan DOWNLOAD DISINI.

Kembali pada topik MTBS, kita kembali menengok beberapa latar belakang lahirnya strategi MTBS ini. Berdasarkan beberapa hasil penelitian, disebutkan bahwa di negara berkembang setiap tahun terjadi 12 juta kematian anak bawah lima tahun.  Dan hampir 70 % penyebab kematian tersebut disebabkan oleh lima penyakit yaitu pneumonia, diare, malaria, campak, dan masalah gizi buruk.

Untuk menurunkan angka kematian bayi WHO membuat strategi Integrated Management of Childhood Illness (IMCI). Metode ini pada tahun 1997 mulai dikembangkan di Indonesia dengan nama Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), sebuah program yang bersifat menyeluruh dalam menangani balita sakit yang datang ke pelayanan kesehatan dasar. Strategi ini memadukan pelayanan terhadap balita sakit dengan cara memadukan intervensi yang terpisah menjadi satu paket tunggal (Integrated Management of Childhood Illness). Pada dasarnnya metode ini merupakan sebuah strategi menurunkan kematian melalui tiga komponen utama, yaitu dengan meningkatkan ketrampilan petugas kesehatan, meningkatkan dukungan sistem kesehatan, dan meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat.

Sebagaimana diketahui, sebelum adanya strategi ini, pendekatan program perawatan balita sakit menggunakan pendekatan program intervensi secara terpisah untuk masing-masing penyakit. Pendekatan ini akan menimbulkan masalah, misalnya kehilangan peluang dan putus pengobatan pada pasien yang menderita penyakit lain selain penyakit yang dikeluhkan dengan gejala yang sama atau hampir sama.

Pendapat lain mengemukakan bahwa pada dasarnya MTBS merupakan paket komprehensif yang meliputi aspek preventif, promotif, kuratif maupun rehabilitative. Metode MTBS ini dalam menangani balita sakit menggunakan suatu algoritme, sehingga dapat mengklasifikasi penyakit secara tepat, jika diperlukan  dapat melakukan rujukan secara cepat, melakukan penilaian status gizi dan memberikan imunisasi kepada balita yang membutuhkan. Selain itu, bagi ibu balita juga diberikan memberikan konseling mengenai tata cara memberikan obat kepada balitanya di rumah, pemberian nasehat mengenai makanan yang seharusnya diberikan kepada balita tersebut dan memberi tahu kapan harus kembali ataupun kembali segera untuk mendapat pelayanan tindak lanjut.

Standard Prosedur MTBS

Menurut Depkes (2000), manajemen Terpadu Balita Sakit adalah manajemen untuk menangani balita sakit yang bersifat terpadu yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan. Terpadu berarti mencari dan mengobati dengan dipandu buku bagan MTBS untuk beberapa penyakit yang menyebabkan kematian bayi dan balita seperti pneumonia, diare, malaria, campak, gizi buruk dan masalah lainnya ke dalam satu episode pemeriksaan. Dimulai dari penilaian berupa pemeriksaan gejala dan tanda-tanda yang muncul, pembuatan klasifikasi, pemberian tindakan dan kemudian diakhiri dengan melakukan konseling. Pemberian intervensi pun terpadu pula dengan melibatkan tiga komponen utama yaitu pengobatan (kuratif), pencegahan (preventif) serta promosi (promotif). Keterlibatan beberapa program inilah yang membedakan dengan strategi yang lain yang bersifat terkotak-kotak secara vertikal seperti manajemen ISPA, program pemberantasan malaria, program pemberantasan diare, penanganan gizi buruk dan lain sebagainya

Menurut WHO-UNICEF (2003), Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) sebagai strategi yang penting untuk memperbaiki kesehatan anak. MTBS ini memusatkan pada penanganan anak bawah lima tahun (balita), tidak hanya mengenai status kesehatannya namun juga penyakit-penyakit yang menyerang mereka. Fokusnya memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan pada fasilitas tingkat pelayanan dasar (balai pengobatan dan pelayanan rawat jalan) dengan menggunakan standar serta pendekatan yang terintegrasi untuk pelayanan kesehatan.

Menurut WHO (1998), ide keterpaduan ini didasari pada kenyataan di lapangan bahwa sebagian besar balita sakit yang datang seringkali menunjuk gejala klinis yang saling tumpang tindih dan bahkan tidak spesifik sehingg menimbulkan kesulitan dalam menegakkan diagnosis tunggal dan atau melakukan pendekatan penyakit secara spesifik sehingga berdampak pada membengkaknya biaya pengobatan.

Pengertian terpadu dalam MTBS merujuk pada sejumlah strategi tertentu yang ditambahkan dalam pendekatan manajemen, bertujuan agar Balita mendapatkan pelayanan menyeluruh baik itu di rumah maupun di fasilitas kesehatan. MTBS dikatakan terpadu sebab memadukan bersama-sama pelayanan promosi, pencegahan, serta pengobatan dalam satu strategi, yang dikelola dan dikoordinir oleh tim yang melibatkan manajer dan para petugas yang mempunyai keahlian yang beragam. Penerapan MTBS menggunakan manajemen kasus untuk menangani masalah-masalah kesehatan masyarakat yang utama melalui standarisasi dan pendekatan terpadu didasarkan pada buku bagan yang diberikan pada paket pelatihan MTBS

Strategi yang digunakan dalam pendekatan MTBS adalah menggabungkan perbaikan tatalaksana balita sakit dengan aspek nutrisi, imunisasi dan hal lain yang berpengaruh pada kesehatan anak, termasuk kesehatan ibu.

Beberapa kendala dijumpai pada penerapan MTBS, seperti waktu pelayanan yang relatif lebih lama, masyarakat cenderung malas untuk melakukan kunjungan ulang. Sebagaimana kita ketahui kunjungan ulang seharusnya dilakukan dua hari setelah pemberian antibiotika, untuk keperluan penilaian efek antibiotika yang diberikan.

Indikator MTBS
Menurut WHO dan UNICEF (1999), terdapat beberapa indikator pelaksanaan MTBS, antara lain indikator ketrampilan petugas, dukungan manajemen, dan indikator tingkat kepuasan pengantar terhadap pelayanan yang diberikan.

Pada iIndikator ketrampilan petugas, terdiri dari kemampuan untuk menilai empat tanda bahaya, pemeriksaan batuk, diare, dan demam, pemeriksaan berat badan dibandingkan dengan KMS, pemeriksaaan status imunisasi, menanyakan kepada pengantar terkait pemberian ASI dan makanan tambahan, memberikan terapi yang benar. Jugaparameter konseling yang meliputi penentuan waktu merujuk, pemberian terapi antibiotika oral yang diresepkan secara benar, pemberian nasehat untuk memberi cairan tambahan dan meneruskan memberi makan, pemberian imunisasi yang dibutuhkan sebelum meninggalkan tempat pelayanan, dan pemberian pemahaman kepada pengantar tentang cara memberikan obat kepada anak sesuai petunjuk yang diberikan petugas.

Pada indikator adanya dukungan sistem kesehatan antara lain meliputi aspek supervisi dan observasi penanganan kasus dalam enam bulan terakhir, aspek ketersediaan obat-obatan dan alat kesehatan meliputi ketersediaan obat-obatan esensial, kecukupan obat injeksi dalam pertolongan sebelum dirujuk, kecukupan peralatan dan jenis vaksin yang dibutuhkan, serta aspek cakupan pelatihan MTBS.

Pada indikator kepuasan ibu balita atau pendampingnya, meliputi indikator gizi terkait pemberian ASI eksklusif, pemberian makanan tambahan, aspek pemberian  imunisasi campak. Sementara untuk perawatan di rumah pada anak yang sakit mendapatkan cairan yang lebih banyak dan melanjutkan pemberian makanan. Juga memastikan bahwa pembawa balita sakit harus mengetahui, minimal dua tanda kapan harus kembali segera membawa anaknya ke pelayanan kesehatan.

Referensi:
•    Depkes RI. (2000) Pedoman Manajemen Terpadu Balita Sakit.
•    WHO, (1998). Integrated Management of the Childhood Illness, UNICEF.
•    WHO. (2003) Component of IMCI, Toward Better Child Health And Development,

Wednesday, October 17, 2012 by LumajangTopic · 0

Monday, October 15, 2012

Masalah Gizi Kurang dan gizi Buruk

Faktor Penyebab Gizi Kurang dan Gizi Buruk

Berdasarkan berbagai data serta hasil penelitian banyak pihak, masalah gizi di Indonesia, selain gizi buruk juga masih tingginya kasus gizi kurang. Belum lagi terjadinya trend peningkatan masalah gizi lebih yang semakin meningkat. Menurut sebuah penelitian, tingkat morbiditas pada balita mencapai 34,3 % pada umur <1 tahun dan 35,1% umur 1- 4 Tahun, kondisi mana sangat terkait dengan masalah status gizi.

Masalah ini menjadi sangat penting untuk ditindak lanjuti, karena pada periode masa Balita, merupakan periode masa kritis. Masa ini merupakan periode optimalisasi pertumbuhan dan perkembangan otak. Menurut Depkes RI (2006) masalah kurang gizi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan dapat menjadi penyebab kematian terutama pada kelompok resiko tinggi (bayi dan balita). Gizi kurang pada balita tidak terjadi secara tiba – tiba, tetapi diawali dengan keterbatasan kenaikan berat badan yang tidak cukup. Perubahan berat badan balita dari waktu kewaktu merupakan petunjuk awal perubahan status gizi balita. Dalam periode 6 bulan, bayi yang berat badannya tidak naik dua kali berisiko mengalami gizi kurang 12,6 kali di bandingkan pada balita yang berat badannya naik terus.


Sebagaimana kita ketahui, salah satu cara mengetahui kesehatan dan pertumbuhan anak dilakukan dengan memantau hasil penimbangan berat badan pada setiap bulan. Di Posyandu hal ini dilakukan dengan menggunakan alat ukur pemantauan KMS atau kartu menuju sehat. Kartu ini antara lain berfungsi sebagai alat bantu pemantauan tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak.


Salah satu pengertian gizi buruk merupakan suatu keadaan kekurangan konsumsi zat gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi protein dalam makanan sehari–hari, sehingga secara klinis terdapat tiga tipe, marasmus , kwashiorkor, dan marasmus kwashiorkor Roedjito (1989), masalah kurang gizi dapat mencakup kekurangan energi, protein, zat besi, juga kekurangan vitamin A. Sedangkan pendekatan masalah kurang gizi meliputi tiga klasifikasi, antara lain keadaan biologi (yang mencakup umur, jenis kelamin, keadaan fisiologis, gangguan penyakit infeksi, keadaan kesehatan), keadaan fisik (yang meliputi pedesaan atau perkotaan dan ekologi daerah seperti hutan, rawa-rawa, pegunungan, dataran, sumber makanan, petani dan pasar), serta keadaan sosial ekonomi dan kebudayaan meliputi suku dan budaya, status sosial ekonomi, pendapatan, luas tanah).


Sementara menurut Azwar (2005), faktor kemiskinan merupakan penyebab mendasar yang mengakibatkan masalah gizi kurang akibat minimnya asupan gizi dan tingginya penyakit infeksi. Sedangkan menurut Kurniawan et all (2001), masalah inti yang menjadi penyebab gizi kurang antara lain karena keadaan keluarga memburuk, pendidikan dan penyediaan bahan makanan tidak baik, serta kurangnya hasil pertanian, sehingga menyebabkan kurangnya ketersediaan makanan pada skala rumah tangga. Juga karena minimnya akses rumah tangga pada sarana pelayanan kesehatan.

Pada dasarnya keadaan gizi kurang tidak semata masalah kesehatan tetapi juga masalah non kesehatan, tidak semata masalah ekonomi tetapi juga masalah non ekonomi.  Kebijakan dalam pencegahan dan penanggulangan gizi buruk menurut Depkes RI (2006), antara lain dilakukanp pendekatan pemberdayaan masyarakat yaitu dengan meningkatkan akses untuk memperoleh informasi serta keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan.

Peningkatan insidensi dan sebaran kasus kurang gizi disebabkan oleh  banyak faktor / permasalahan, seperti faktor biologis yang meliputi umur, jenis kelamin, penyakit infeksi kronis yang diderita oleh balita di daerah dengan kasus gizi kurang.

(Penyebab Kurang Gizi Menurut Unicef, 1998)

Sementara pada faktor geografi, sosial ekonomi dan politik, antara lain akan menyangkut ketersediaan ketersediaan lahan, ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, pola asuh, penyakit infeksi dan non-infeksi, kesehatan lingkungan, pendidikan, kemiskinan, juga faktor kebijakan.

Masalah gizi buruk dan gizi kurang berpengaruh erat pada kualitas sumber daya manusia. Menurut Depkes RI (2006), pada tahun 2006 masih sekitar 28% dari jumlah balita di Indonesia mengalami gizi kurang.

Terkait kompleksitas masalah gizi, menurut Depkes RI (2005), berbagai upaya dan kegiatan penanganan kasus gizi, antara lain dilakukan dengan :
  1. Penanggulangan kurang vitamin A ( KVA ) yaitu pendistribusian pada bayi di bulan Pebruari dan Agustus.
  2. Penanggulangan kurang gizi dengan pemberian makanan tambahan
  3. Penanggulangan anemia gizi dan besi
  4. Penanggulangan gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY)
  5. Penimbangan Balita
Berbagai usaha telah dilakukan sebagai upaya perbaikan gizi, antara lain melalui usaha promosi gizi seimbang, penyuluhan gizi di posyandu, fortifikasi pangan, pemberian makanan tambahan termasuk MP-ASI, pemberian suplemen gizi seperti kapsul vitamin A dan Fe, pemantauan dan penanggulangan gizi buruk, gerakan ASI Eksklusif, keanekaragaman makanan, juga penggunaan garam beryodium. Kita masih memerlukan inovasi dan usaha lebih untuk menyelamatkan anak cucu generai bangsa ini, dengan peran kita dalam berbagai aspek dan tingkatan.

Referensi, antara lain :
  • Pencegahan dan penanggulangan gizi buruk.  Depkes RI. 2006.
  • Program Perbaikan Gizi Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat. Jakarta. Depkes RI. 2005
  • Kecendrungan Masalah Gizi dan Tantangan di masa depan Disampaikan pada Pertemuan Advokasi Program Perbaikan Gizi Menuju Keluarga Sadar Gizi, Azwar, A.,(2005)
  • The State of the World’s Children 1998. Oxford University Press. Unicef. 1998.

Monday, October 15, 2012 by LumajangTopic · 0